Kapitayan: Agama Pelopor Monoteisme dan Ajaran Humanisme di Nusantara

ikon-1
0
0


Oleh: Muwaffiq Jufri
 (dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura, serta peminat studi agama-agama lokal di Indonesia).

Kapitayan adalah salah-satu agama kuno yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara. Beberapa kalangan berpendapat bahwa agama ini merupakan agama asli dan tertua di Nusantara. Kapitayan lahir jauh sebelum hadirnya pengaruh Hindu dan Budha, bahkan beberapa pihak menganggap bahwa agama ini bersumber dari ajaran nabi Adam.

Hal ini dikarenakan penganjur pertama yang disebut “Hyang Semar” merupakan keturunan kesembilan nabi Adam. Pernyataan bahwa Hyang Semar merupakan keturunan kesembilan nabi Adam ialah didasarkan pada catatan yang tertera pada kitab kuno “Pramayoga” dan “Pustakaraja Purwa” yang meruntut silsilah Hyang Semar dan memposisikannya sebagai keturunan Nabi Adam yang kesembilan (Agus Sunyoto, Agama Bangsa Nusantara, 2015).

Pelopor Monoteisme di Nusantara

Jika dalam beberapa literatur sejarah, utamanya yang diajarkan dalam buku-buku di sekolah-sekolah, menyebut para leluhur Jawa menganut tradisi animisme dan dinamisme dalam keberagamaannya, maka fakta sejarah telah menerangkan secara gamblang bahwa Kapitayan sebagai agama asli bangsa Nusantara menampilkan konsepsi monoteisme dalam ajaran agamanya. Bahkan dalam tulisan saya di Jurnal Konstitusi tahun 2019 berjudul “Akibat Hukum Pemisahan Hak Beragama dengan Hak Berkepercayaan dalam UUD NRI 1945”, disitu disebutkan secara tegas bahwa agama leluhur Kapitayan telah mengenal adanya konsepsi tentang kemaha-tunggalan Tuhan yang keberadaannya ada pada alam dimensi yang berbeda dari manusia.

Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya berjudul Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah (2017:14), secara sederhana Kapitayan didefinisikan sebagai agama yang memiliki keyakinan terhadap sesembahan utama kepada “Sang Hyang Taya”. Posisi Sang Hyang Taya sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang “hampa, kosong, suwung, awang-uwung.

Menurut pandangan ini, Taya dimaknai “absolut” sehingga tidak dapat dipikirkan, dibayangkan, dan tidak dapat didekati oleh panca indera. Leluhur Jawa kuno biasa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam ungkapan “Tan Kena Kinaya Ngapa”, yang memiliki arti “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”.

Dengan artian bahwa Zat ini tidak ada tapi ada, tidak bisa dilihat oleh mata tetapi eksistensinya diyakini ada sebagai satu-satunya sumber kekuatan. Oleh karena ketiadaannya yang sebenarnya ada, diusahakan untuk mengenal dan menyembah “Sang Hyang Taya” melalui sesembahan yang dianggap mempribadi dalam nama dan sifat “Tu” atau “To” yang berdaya ghaib serta bersifat Adikodrati.

Selanjutnya Agus Sunyoto menjelaskan bahwa makna “Tu” atau “To” memiliki artian “tunggal dalam dzat” atau “satu pribadi”, yaitu “kebaikan dan ketidak-baikan”. “Tu” juga lazim disebut “Sang Hyang Tunggal” yang memiliki dua sifat kebaikan dan ketidakbaikan. “Tu” yang baik disebut sebagai “Tu-han” yang dikenal dengan nama “Sang Hyang Wenang”, sedangkan “Tu” yang bersifat tidak baik disebut “han-Tu” yang dikenal dengan nama “Sang Manikmaya”. Menurut ajaran Kapitayan, Sang Hyang Wenang dan Sang Manikmaya menyatu dalam sifat “Sang Hyang Tunggal”.

Berdasarkan penjelasan di atas, sifat utama Sang Hyang Tunggal adalah “ghaib” dan tidak terlacak oleh indera manusia. Kondisi yang demikian membutuhkan sarana yang dapat ditangkap oleh indera dan alam pikiran manusia, sehingga dalam keyakinan Kapitayan, Tu atau To itu mempribadi dalam segala sesuatu yang memiliki nama “Tu” dan “To” antara lain seperti : wa-Tu (batu) Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu, Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati, limpa), To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air).

Dalam praktiknya, puja bakti terhadap “Sang Hyang Tunggal” dilengkapi dengan sesuatu yang memiliki nama “Tu’ atau “To” semisal Tu-mpeng (sesaji), Tu-mpi (keranjang dari anyaman bambu), Tu-ak, (arak), Tu-kung (sejenis ayam), yang semuanya ditujukan untuk memohon sesuatu hal-hal yang baik. Sementara untuk persembahan kepada Sang Manikmaya dilakukan peribadatan serta sesembahan khusus yang biasa dikenal dengan sebutan “Tu-mbal”.

Konsep peribadatan di atas dikhususkan pada permohonan kebaikan dan menolak keburukan berdasarkan dua poros yang dimiliki oleh Sang Hyang Tunggal. Sementara ritual peribadatan terhadap Sang Hyang Taya biasa dilakukan melalui penyembahan dalam kehidupan keseharian yang dilakukan di suatu tempat yang disebut “sanggar” (semacam langgar) yang beratap empat (Tu-mpang).

Sanggar inilah yang mengilhami penyebutan “langgar” sebagai tempat peribadatan bagi umat muslim di berbagai pelosok, khususnya di daerah Jawa. Di Madura sendiri penyebutan tempat peribadatan dalam sistem “taneyan lanjhang” lazim disebut sebagai “langghar”.

Hingga saat ini, beberapa ritual atau sarana peribadatan peninggalan Kapitayan masih lestari dan menyatu dalam beberapa agama baru, seperti “sembahyang (sembah-Hyang), puasa (upawasa), pitutur (pitu-tur, pemberian nasehat), pidato, (pi-dha-Tu) mulang (pi-wulang, menyampaikan ilmu pengetahuan), pidana (pi-dana). Bahkan, nama ‘pondok pesantren’ yang kini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara dan menjadi pusat transformasi keilmuan Islam adalah konsep pendidikan keagamaan yang diadopsi dari sistem pendidikan Kapitayan (santri, padepokan).

Konsep dan ajaran agama yang sedemikian lengkapnya terkesan terlalu diremehkan jika hanya dianggap sebagai pemuja animisme sebagaimana yang diuarikan dalam banyak buku-buku sejarah yang beredar di pasaran. Belum lagi soal tuduhan pelaku sinkretisme serta mencampur-adukkan agama dan budaya yang acapkali disematkan kepada para penganut agama lokal.

Padahal fakta sejarah telah menyajikan banyak berita dan data tentang adanya ajaran monoteisme dalam beberapa ajaran agama lokal, termasuk diantaranya dalam ajaran Kapitayan. Belum lagi soal tradisi keagamaan kita saat ini yang nyatanya telah banyak mewarisi istilah-istilah yang sebenarnya telah ada sejak zaman Kapitayan yang menjadi salah-satu dari beberapa agama asli bangsa Nusantara.

Ajaran Humanisme

Sebagaimana lazimnya agama-agama besar dunia, Kapitayan juga memiliki konsepsi tentang bagaimana membangun relasi antar umat beragama. Artinya selain pandangan absolut terhadap keyakinan agamanya yang memberikan sesembahan kepada Sang Hyang Taya (Muhammad Sulton Fatoni, Buku Pintar Islam Nusantara, 2017), agama ini juga tidak menampik keberadaan agama dan kepercayaan lain di luar keyakinannya.

Selain itu, dalam konsep kapitayan, keberadaan agama lain, senyampang memiliki konsepsi ketuhanan yang sama-sama mengsusung ajaran Tuhan yang Maha Tunnggal, maka harmoni dan kerukunan bukanlah sesuatu yang sulit untuk dicapai dalam kehidupan keseharian.

Hanya saja mengenai pandangannya terhadap keberadaan agama lain ini, Kapitayan hanya memberikan keterbukaan terhadap pemahaman agama-agama yang sama-sama mengusung ajaran monoteisme, yakni suatu ajaran dan konsep agama yang menganggap Tuhan itu satu (tunggal) dan tidak terwujud berdasarkan tangkapan panca indera.

Karenanya, para penganut Kapitayan menyeleksi secara ketat masuknya pengaruh agama-agama yang datangnya dari luar. Para penganut Kapitayan sebenarnya sempat menerima ajaran Hindu Wisnu, namun karena di kemudian hari diketahui bahwa agama ini meyakini bahwa Dewa Wisnu dapat berwujud sebagai manusia, di kemudian hari para penganut Kapitayan menolak keberadaan ajaran ini.

Sementara agama Hindu yang diterima pada saat itu hanyalah Hindu Siwa yang memiliki pandangan bahwa Tuhan tidak dapat berwujud layaknya manusia. Pandangan yang demikian memiliki kesamaan konsepsi dengan ajaran ketuhanan Kapitayan yang menganggap Tuhan itu Maha Tunggal dan tidak berwujud dalam radar panca-indera.

Sehingga dalam kontek ini, hak dan kebebasan beragama dalam ajaran Kapitayan hanya berlaku pada agama-agama yang memiliki konsep ketuhanan monoteisme. Wajar saja bila di kemudian hari, Islam dapat diterima dan diperbolehkan untuk disebarluaskan di bumi Nusantara, hal ini disebabkan oleh adanya kesamaan pandangan tentang konsep ketauhidan (Agus Sunyoto, wawancara pada 10 Mei 2020).

Meskipun terkesan kaku dalam menerima keberadaan agama lain, tetapi keterbukaan Kapitayan terhadap agama (monoteis) lainnya patut diapresiasi, karena di zaman itu telah ada ajaran agama yang mengusung semangat moderatisme. Fakta yang demikian semakin mengukuhkan keberadaan bangsa Nusantara sebagai bangsa yang mencintai kerukunan dan menjunjung tinggi nilai keadaban. Untuk itu, menjadi tugas kita bersama sebagai pewaris tradisi leluhur untuk tetap menjaga dan memastikan kehidupan berbangsa yang harmonis, beradab, dan menghargai perbedaan.

Sumber :nusantarainstitute.com

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)
To Top