Bergaya dengan Buku di Hindia-Belanda

ikon-1
0
0


Membaca buku sudah ada sejak dahulu. Dengan membaca akan menghasilkan jiwa yang tidak kerdil. Itu pun jika disertai kemampuan literasi, mampu menyaring informasi mana yang memang bermutu atau sekadar mencari sensasi.

Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang kerap dikatakan kegiatan dalam sunyi. Mereka yang gemar membaca tenggelam dalam dunia pikiran mereka dan berdialog dengan ide penulis. Tak jarang dialog dalam pikiran pembaca dengan penulis dapat menghasilkan pengetahuan, bahkan ilmu baru.

Kebutuhan untuk belajar memahami tulisan dalam bentuk deretan huruf, kata, dan memaknai kalimat tidak kalah penting dengan kebutuhan mengisi perut. Salah satu bahan bacaan adalah berbentuk buku baik dalam bentuk fisik maupun digital. Walau dalam kenyataannya, banyak toko buku terpaksa gulung tikar, berganti dengan gerai makanan dan minuman. Lagi-lagi urusan otak, kalah dengan urusan perut. Beruntung, beberapa toko buku di Indonesia masih bertahan dan tetap dikunjungi.

Pernah pada suatu masa kegiatan membaca di Indonesia menjadi kegiatan segelintir masyarakat elite. Kemampuan membaca bagi masyarakat tertentu pada masa Hindia-Belanda menjadi keharusan. Mereka yang melek huruf, mampu membaca, memiliki kesempatan lebih luas dalam berkarier. Buku dan bahan bacaan dijadikan ”djalan ke Barat”, memperluas wawasan.

Namun, kegiatan membaca juga pernah dianggap ”berbahaya”. Ada buku-buku tertentu dicap ”batjaan-batjaan liar” oleh pemerintah kolonial. Buku-buku itu dianggap dapat membahayakan pikiran penduduk di koloni karena dianggap mengajarkan sikap kritis sehingga dilarang beredar. Kemampuan membaca sebenarnya tidak hanya mampu membaca huruf Latin. Kemampuan membaca huruf-huruf dalam bahasa lokal tidak kalah pentingnya dengan kemampuan membaca huruf Latin yang dibawa oleh bangsa Eropa. Banyak nilai kearifan terkandung dalam berbagai manuskrip yang sepertinya belum banyak tergali, terutama dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.

Pun kegiatan membaca pada masa Hindia-Belanda menjadi kegiatan yang dianggap ”luar biasa”. Tidak mengherankan kegiatan membaca, setidaknya tampil bersama buku atau bahan bacaan menjadi salah satu subyek foto pada masa Hindia-Belanda. Seperti dalam sebuah foto studio karya Kassian Cephas yang diperkirakan dibuat akhir abad ke-19 di Jawa.


Foto yang diperkirakan dibuat pada abad ke-20 memperlihatkan mobil perpustakaan keliling dikerumuni oleh para penduduk bumiputra. Dalam foto pertama terlihat para pria bumiputra yang mengenakan kaus, jas tutup, pantalon, sarung, kain lengkap dengan peci, blangkon, ikat kepala, tanpa alas kaki berdiri di dekat mobil perpustakaan keliling. Ada tiga orang yang menatap ke arah kamera. Dua orang tampak sedang memegang buku.

Dalam foto kedua tampak bagian depan mobil perpustakaan keliling dan kerumunan orang di samping mobil. Dua orang bumiputra mengenakan jas tutup dan pantalon warna terang sedang bercakap-cakap sambil memegang buku. Pelat nomor mobil (B) menunjukkan bahwa itu adalah mobil Batavia (Jakarta).

Namun, para pegawai Volkslectuur tidak hanya orang Eropa (Belanda). Di antara mereka ada juga masyarakat bumiputra, seperti yang terdapat dalam foto tujuh pria bumiputra di kantor Volkslectuur di Weltevreden, Batavia. Enam orang tampak berdiri, lima di antaranya menatap kamera dan satu orang duduk berpose sedang mengetik. Enam orang mengenakan jas tutup warna terang dan penutup kepala kain. Di posisi tengah berdiri satu orang mengenakan penutup kepala seperti peci, menatap kamera. Di sebelahnya berdiri pria dengan pose membaca buku. Di hadapan mereka ada sebuah meja dan beberapa buku di atasnya.

Kegiatan membaca dan buku menjadi salah satu subyek menarik untuk foto, baik sengaja berpose atau candid. Salah satu fotografer handal yang membidik kegiatan membaca adalah Steve McCurry. Fotografer Amerika ini menghasilkan buku On Reading (Phaidon: New York, 2017), kumpulan foto kegiatan membaca di 30 negara dalam kurun waktu 40 tahun. McCurry terinspirasi dari fotografer Hongaria, André Kertész (1894-1985), yang membidik orang-orang membaca selama 50 tahun dan kompilasi foto-fotonya diterbitkan dalam On Reading (1971).

Terlepas apakah orang-orang yang difoto pada masa kolonial memang (mampu) membaca atau tidak, setidaknya kegiatan membaca dan buku pernah menjadi salah satu momen serta aksesori penting dalam fotografi. Selain itu, juga melalui foto-foto kegiatan membaca dan bersama buku ingin menunjukkan status dan mungkin tingkat ”intelektualitas”.

Pada masa kini, berfoto sambil membaca, dengan buku atau berlatar rak berisi deretan buku juga masih dilakukan. Bahkan, foto berlatar rak buku wajib di kalangan wisudawan sebagai kenang-kenangan. Membaca merupakan salah satu bentuk kemerdekaan karena kita yang menentukan apa saja yang akan kita baca. Dengan membaca akan menghasilkan jiwa yang tidak kerdil. Itu pun jika disertai kemampuan literasi, mampu menyaring informasi mana yang memang bermutu atau sekedar mencari sensasi.

Dr Achmad SunjayadiDosen di Program Studi Belanda dan Departemen Sejarah Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia; Penikmat Fotografi

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)
To Top