RIWAYAT TENTARA HINDIA BELANDA

ikon-1
0
0

 


Dari tentara Bayaran / Merceneries sampai tentara rekrutan Pribumi / Marsose - KNIL

1. De Madjikers
De Mardijkers atau Portugis Hitam adalah sebutan untuk para bekas anggota tentara Portugis dan keturunan India, Portugis juga Budak keturunan Afrika di Batavia yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri, Gereja Tugu, yang dibangun pertama kali pada tahun 1661. Terdapat juga Mardijkers keturunan Filipina yang bermukim di Kelurahan Papanggo.
Mardijkers berpakaian seperti orang Portugis dan menggunakan bahasa Portugis-Kreol.
Mardijkers bertugas di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu.
Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang bercampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu.
Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih tersisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.
2. Korps Marechaussee te Voet
Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.
Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.
3. Resimen Württemberg
Resimen Württemberg yang dikenal juga dengan Tentara Kontrakan adalah satu resimen berisi orang Jerman asal Württemberg yang dikontrak menjadi tentara Hindia-Belanda pada tahun 1790-1808. Resimen Württemberg ini berjumlah 2.000 tentara.
Semula mereka mengabdi pada VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan, mereka berada di bawah Pemerintah Hindia-Belanda. Resimen Württemberg ini dibubarkan pada tahun 1808. Banyak dari mantan serdadu dan perwira Jerman yang kemudian tinggal dan berkeluarga di Indonesia. Hal ini yang menerangkan bahwa di Indonesia sejak beberapa generasi ada keluarga Indonesia yang mempunyai nama keluarga Jerman.
4.Belanda Hitam
Belanda Hitam (bahasa Belanda Zwarte Hollanders) adalah sebutan untuk tentara Hindia-Belanda yang berasal dari budak-budak yang didatangkan dari Afrika dan India.
Mulai tahun 1830, di Pantai Emas (sekarang Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke Hindia Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka kemudian mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih.
Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Hollanders). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,- dari gaji mereka. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, sekitar 60 keluarga Indo-Afrika dibawa ke Belanda dalam rangka repatriasi. Para Keluarga Indo-Afrika yang masih menetap di Indonesia sebagian besar menetap di Pulau Jawa
5. Koninklijk Nederlands-Indische Leger atau KNIL
KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau secara harafiah:
Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia-Belanda, banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia-Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda.
Ketika berlangsung Perang Diponegoro, pada tahun 1826-1827 pemerintah Hindia Belanda membentuk satu pasukan khusus. Setelah Perang Diponegoro usai, pada 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat "Koninklijk".
Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.
Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di Hindia Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Perancis, Jerman, Belgia dan Swiss.
Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman. Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di Hindia Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima f 300,-, atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.
Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda.
Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah 603 perwira bangsa Eropa, 37 perwira pribumi, 5.699 bintara dan prajurit bangsa Eropa, 7.206 bintara dan prajurit pribumi.
Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL adalah Kolonel KNIL Abdoelkadir Widjojoatmodjo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville.
Seorang Indonesia, Sultan Hamid II dari Pontianak, yang dididik oleh dua wanita Inggris, mencapai pangkat Mayor Jenderal dalam posisi Asisten Politik Ratu Juliana.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka pada tahun 1950 KNIL dibubarkan. Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke "Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat" (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama.
Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI.
Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan lebih dari 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)
To Top