Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fenomena Astronomi Gerhana Bulan


Minggu Pahing malam Senin Pon, 7 September 2025, langit nusantara kembali akan menampilkan sebuah fenomena alam yang selalu memikat: gerhana bulan. Peristiwa langka ini telah lama menjadi bahan cerita, keyakinan, bahkan ritual di tengah masyarakat. Ia bukan hanya sekadar peristiwa astronomi, melainkan juga bagian dari perjalanan budaya dan spiritual manusia sejak berabad-abad lalu.

Fenomena Astronomi Gerhana Bulan

Secara ilmiah, gerhana bulan terjadi ketika bumi berada di antara matahari dan bulan. Posisi ini membuat bayangan bumi menutupi bulan, sehingga bulan tampak meredup atau berwarna kemerahan. Ada beberapa jenis gerhana bulan:

  • Gerhana Bulan Penumbra: hanya sedikit redup, karena bulan melewati bayangan samar bumi.

  • Gerhana Bulan Sebagian: sebagian permukaan bulan tertutup bayangan bumi.

  • Gerhana Bulan Total: bulan sepenuhnya tertutup bayangan bumi, biasanya berwarna merah darah yang disebut blood moon.

Ilmu astronomi menjelaskan fenomena ini dengan perhitungan yang presisi. Para ilmuwan dapat memprediksi kapan, berapa lama, dan di mana gerhana dapat dilihat. Keakuratan ini menunjukkan keteraturan hukum alam semesta.

Mitologi Jawa: Bulan Ditelan Batara Kala

Namun jauh sebelum sains menjelaskan secara rasional, masyarakat Jawa punya kisah mitologi yang kaya imajinasi. Dalam legenda, gerhana bulan terjadi karena Batara Kala, sosok raksasa gaib, sedang menelan bulan.

Batara Kala dikisahkan sebagai putra dewa yang dikutuk, berwujud raksasa haus dendam. Ia membenci Batara Surya (matahari) dan Batara Soma (bulan) karena keduanya pernah membongkar penyamarannya saat ia mencuri tirta amerta, air kehidupan abadi. Dewa Wisnu yang murka memenggal lehernya dengan cakra, sehingga tubuh Batara Kala terpisah dari kepalanya. Karena itu, ia hanya bisa menelan matahari atau bulan sesaat—dan ketika terpotong, benda langit itu kembali bersinar.

Di masa lalu, ketika gerhana terjadi, masyarakat Jawa melakukan ritual khas:

  • Membunyikan kentongan dan menumbuk lesung agar Batara Kala “melepaskan” bulan.

  • Menggugah ternak agar tidak diam dalam kegelapan.

  • Melarang ibu hamil keluar rumah, karena dianggap rawan diganggu makhluk halus.
    Meski bagi sebagian orang terlihat sebagai mitos belaka, praktik-praktik ini adalah warisan budaya yang sarat simbol dan kearifan lokal.

Pandangan Islam: Tanda Kebesaran Allah

Dalam tradisi Islam, gerhana tidak dianggap sebagai pertanda sial atau bencana. Rasulullah SAW menegaskan bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah, bukan akibat kematian atau kelahiran seseorang. Saat gerhana, umat Islam dianjurkan untuk:

  • Menunaikan shalat gerhana (shalat khusuf).

  • Berdoa dan berdzikir lebih banyak.

  • Bersedekah sebagai bentuk kepedulian sosial.

Dengan demikian, fenomena ini menjadi momen spiritual untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Antara Sains dan Mitologi

Gerhana bulan adalah titik temu menarik antara dua cara pandang manusia. Dari sisi sains, ia menunjukkan keteraturan kosmos yang bisa dihitung secara matematis. Dari sisi mitologi, ia menghadirkan kisah simbolis tentang pertarungan kosmik, ketakutan, sekaligus harapan manusia.

Keduanya tidak harus saling meniadakan. Mitologi memberi makna kultural, memperkaya imajinasi, dan menjadi bagian dari identitas masyarakat. Sains, di sisi lain, membuka mata kita pada keindahan hukum alam yang begitu presisi. Perpaduan keduanya membuat manusia bukan hanya sekadar menghitung fenomena, tetapi juga merenungkannya.

Penutup

Bagi yang lahir dan tumbuh di pedesaan Jawa pada era 70-an, gerhana bulan seringkali diwarnai kenangan masa kecil: suara kentongan bersahutan, anak-anak berlarian di halaman, orang tua menumbuk lesung sambil berdoa. Kini, ketika ilmu pengetahuan sudah lebih maju, kita tetap bisa merayakan gerhana sebagai bagian dari warisan budaya sekaligus kebesaran alam semesta.

Di balik redupnya cahaya bulan, tersimpan pesan: bahwa manusia selalu berusaha mencari makna baik melalui cerita mitologi maupun melalui ilmu pengetahuan. Gerhana bulan bukan sekadar bayangan bumi di langit, melainkan juga cermin hubungan manusia dengan alam, budaya, dan Tuhannya.

Dilihat : 0 kali
Kolom Komentar