Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mulih dhisik menjadi MUDIK


Setiap kali menjelang hari raya, terutama Idulfitri, kita pasti sering mendengar kata "mudik" di mana-mana. Mulai dari berita, media sosial, sampai obrolan sehari-hari, semua orang bicara tentang mudik. Tapi, pernahkah kamu bertanya-tanya, sebenarnya dari mana asal kata "mudik" itu?

Ternyata, kata “mudik” bukan berasal dari bahasa Indonesia baku, melainkan dari bahasa Jawa, tepatnya bahasa Jawa ngoko — bentuk bahasa Jawa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan yang akrab atau sebaya.

Secara etimologis, mudik adalah singkatan dari “mulih dhisik”. Dalam bahasa Jawa, "mulih" berarti pulang, dan "dhisik" berarti sebentar atau dulu. Jadi, "mulih dhisik" bisa diartikan sebagai “pulang dulu” — sebuah ungkapan sederhana yang biasanya menunjukkan niat untuk kembali ke kampung halaman untuk sementara waktu.

Seiring waktu, ungkapan ini kemudian dipersingkat menjadi "mudik", dan penggunaannya meluas, tidak hanya di kalangan orang Jawa, tapi juga di seluruh Indonesia. Kini, mudik menjadi istilah nasional yang identik dengan tradisi pulang kampung menjelang hari raya, khususnya Lebaran.

Uniknya, meskipun awalnya bermakna "pulang sebentar", dalam praktiknya, mudik justru bisa melibatkan perjalanan jauh, panjang, dan penuh perjuangan. Tapi bagi banyak orang, semua itu terbayar lunas ketika akhirnya bisa bertemu keluarga, melepas rindu, dan merayakan hari raya di tempat yang paling bermakna: kampung halaman.

Lebih dari Sekadar Pulang

Kata "mudik" mungkin sederhana, tapi maknanya sangat dalam. Ia bukan hanya soal perjalanan fisik, tapi juga soal ikatan emosional, kebersamaan, dan rasa memiliki terhadap tempat asal. Dari “mulih dhisik” menjadi “mudik”, tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia.

Selamat mudik bagi kamu yang akan pulang kampung tahun ini. Semoga perjalananmu lancar dan penuh kebahagiaan!

Dilihat : 0 kali
Kolom Komentar